Pada tahun 2015, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri (“PP 142/2015”). Sesuai dengan judulnya, PP 142/2015 menjabarkan persyaratan yang harus dipenuhi dalam membangun kawasan industri yang dilengkapi dengan infrastruktur penunjang dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri (secara bersama-sama disebut “Kawasan Industri”),[1] dengan tujuan utama untuk mempercepat dan menyebarkan kegiatan industri secara merata di seluruh Indonesia.[2]
Namun, dalam upaya untuk lebih meningkatkan kontribusi sektor pengolahan industri di luar pulau Jawa dan membangun pusat-pusat industri baru, pemerintah kini telah mengenalkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2024 tentang Perwilayahan Industri (“PP 20/2024”).[3] Setelah diberlakukan pada 7 Mei 2024, PP 20/2024 secara bersamaan mencabut dan mengganti PP 142/2015.[4] Namun, berbagai kerangka pelaksanaan PP 142/2015 akan tetap berlaku, sepanjang ketentuannya sejalan dengan PP 20/2024.[5]
Dengan tetap mempertahankan sebagian besar ketentuan inti yang semula ditetapkan dalam PP 142/2015, PP 20/2024 mengenalkan sejumlah revisi signifikan, khususnya mengenai pengembangan berbagai jenis wilayah, perizinan berusaha, dan insentif yang tersedia. Penyesuaian ini berlaku bagi perusahaan yang mengelola dan mengembangkan Kawasan Industri (“Perusahaan Kawasan Industri”) dan perusahaan industri yang menjalankan usahanya di Kawasan Industri (secara Bersama-sama disebut “Perusahaan”).
Perlu dicatat bahwa perusahaan industri yang menjalankan usahanya di Kawasan Industri dan telah memperoleh izin usaha dan insentif perpajakan sebelum berlakunya PP 20/2024 dapat melanjutkan kegiatan usahanya dan tetap memperoleh insentif yang diberikan.[6]
Mengingat cakupan PP 20/2024 yang sangat luas, maka Indonesian Legal Brief (ILB) edisi kali ini akan membatasi pembahasannya pada ringkasan topik-topik berikut:
- Insentif Umum;
- Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (“WPPI”);
- Sentra Industri Kecil dan Menengah (“IKM”); dan
- Kewajiban yang Diperbarui bagi Perusahaan.
Insentif Umum
Sebelumnya, dalam kerangka PP142/2015, berbagai insentif yang semata-mata terkait pajak dan daerah dapat diperoleh oleh Perusahaan. Namun, PP 20/2024 kini telah memperluas insentif tersebut yang mencakup kategori fiskal dan non-fiskal, seperti terangkum dalam tabel berikut:[7]
Jenis Insentif | Keterangan[8] |
Fiskal | Meliputi perpajakan, kepabeanan, pendapatan negara bukan pajak, dan pajak daerah serta retribusi daerah |
Non-fiskal | Meliputi imigrasi, pertanahan dan tenaga kerja. |
Daerah | Meliputi pengurangan, keringanan, atau pembebasan untuk jenis pajak daerah dan/atau retribusi daerah, antara lain:
|
Selain itu, PP 20/2024 tetap mempertahankan fasilitas kemudahan yang awalnya diberikan dalam kerangka PP 142/2015, seperti kemudahan pembangunan dan pengelolaan fasilitas tenaga listrik untuk penggunaan pribadi.[9]
WPPI
PP 20/2024 mengenalkan klasifikasi baru kawasan melalui istilah WPPI, yang dapat diusulkan sebagai kawasan strategis nasional oleh Menteri Perindustrian. Tujuan utama dan kriteria penetapan kawasan baru ini dijabarkan sebagai berikut:
Tujuan[10] | Kriteria Penetapan WPPI[11] |
Meliputi:
|
Setidaknya meliputi:
|
Selain itu, daerah dengan pusat pertumbuhan berupa kawasan industri atau rencana pengembangan kawasan industri yang didukung oleh industri anchor dapat ditetapkan sebagai WPPI. |
Untuk lebih mendorong pengembangan industri di kawasan baru tersebut, lebih banyak fasilitas akan diberikan secara khusus bagi Perusahaan yang berlokasi di WPPI. Dalam hal ini, PP 20/2024 secara eksplisit menetapkan jenis Perusahaan yang dapat memperoleh fasilitas tersebut, serta bentuk fasilitas nonfiskal yang dapat diberikan kepada Perusahaan tersebut, sebagaimana dirangkum dalam tabel berikut:
Jenis Perusahaan di WPPI[12] | Fasilitas Non Fiskal yang Tersedia[13] |
Perusahaan industri yang melakukan kegiatan, antara lain:
|
Meliputi:
|
Perusahaan IKM yang:
|
Sentra IKM
Sebelumnya, dalam PP 142/2015 menyatakan bahwa lahan yang dialokasikan oleh Perusahaan Kawasan Industri dapat ditetapkan sebagai Sentra IKM,[14] dalam PP 20/2024 baru ini diperjelas bahwa Sentra IKM didefinisikan sebagai sekelompok IKM dalam satu lokasi yang terdiri dari setidaknya lima unit usaha yang menghasilkan produk sejenis dan menggunakan bahan baku sejenis dan/atau proses produksi yang sama.[15] Terkait hal tersebut, PP 20/2024 menjabarkan berbagai fasilitasi percepatan pengembangan Sentra IKM, serta jenis IKM yang berada di Sentra IKM yang layak untuk diprioritaskan. Kedua aspek tersebut diuraikan sebagai berikut:
Fasilitasi Percepatan[16] | Prioritas Industri[17] |
Meliputi:
|
Sentra IKM akan memprioritaskan IKM:
|
Perlu diketahui pula, penetapan lokasi dan jenis produk unggulan atau proses produksi utama di Sentra IKM merupakan kewenangan bupati atau walikota setempat.[18] Dalam hal pembangunan, Sentra IKM kini harus memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:[19]
Aspek | Keterangan |
Kriteria Industri |
Industri yang tercantum dalam rencana pengembangan daerah, atau industri yang:
|
Jumlah IKM | Setidaknya 20 IKM harus telah menyatakan kesediaannya untuk bergabung dengan Sentra IKM yang dibangun. |
Luas lahan | Setidaknya 5.000 m2 yang berlokasi di Kawasan Industri atau lokasi yang direncanakan menjadi Kawasan Industri. |
Akses | Harus memenuhi kriteria akses jalan, air bersih, tenaga listrik, dan infrastruktur lainnya. |
Selain itu, dalam rangka pengembangan Sentra IKM, Pemerintah Daerah wajib menyediakan berbagai fasilitas wajib guna mendukung kegiatan industri terkait, yang dirinci sebagai berikut:[20]
Sarana Produksi | Infrastruktur di Sentra IKM |
|
|
Kewajiban yang Diperbarui bagi Perusahaan
Kerangka PP 142/2015 yang kini telah dicabut awalnya menggunakan istilah Izin Usaha Kawasan Industri (“IUKI”) saat merujuk pada izin yang dikeluarkan untuk kegiatan usaha yang berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri (“KPI”). Namun, PP 20/2024 tidak lagi mencantumkan IUKI dan sebaliknya merujuk pada izin yang relevan sebagai Perizinan Berusaha.[21]
Dengan tetap mempertahankan sebagian besar kewajiban Perusahaan Kawasan Industri yang sebelumnya tertuang dalam PP 142/2015 (misalnya penyediaan lahan untuk kegiatan IKM, tata tertib kawasan industri, pemberian kemudahan perizinan terpadu satu pintu dan sebagainya),[22] kerangka baru ini mengamanatkan bahwa Perusahaan Kawasan Industri juga wajib menyusun rencana induk (master plan) Kawasan Industri.[23]
Sementara itu, terkait kewajiban perusahaan industri yang berlokasi di Kawasan Industri, kerangka baru ini mensyaratkan perusahaan tersebut untuk menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang disetujui oleh Perusahaan Kawasan Industri atau pengelola Kawasan Industri terkait.[24] Selain itu, perusahaan industri yang berlokasi di Kawasan Industri juga wajib memastikan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.[25]
Perlu juga dicatat bahwa PP 20/2024 menghapus pengecualian yang sebelumnya diamanatkan dalam kerangka PP 142/2015, yang secara eksplisit mengecualikan perusahaan industri dari kewajiban menyiapkan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN).[26]
Poin Penting
Menandai pergeseran kerangka regulasi yang berlaku bagi kawasan industri, PP 20/2024 secara signifikan lebih rinci dan terstruktur dibandingkan peraturan sebelumnya, sekaligus memperluas cakupan insentif yang tersedia dalam upaya mendorong pertumbuhan industri di luar Jawa dan mengembangkan sentra industri baru. Penggambaran kewenangan dan koordinasi yang jelas antara lembaga-lembaga pemerintah harus memastikan implementasi kebijakan yang efektif, sementara berbagai kewajiban Perusahaan telah diperbarui untuk memastikan kepatuhan terhadap perencanaan lingkungan dan tata ruang. Selain itu, perubahan terminologi dari IUKI menjadi perizinan berusaha dipandang sebagai upaya untuk menyelaraskan izin dan perizinan untuk kawasan industri dengan reformasi regulasi yang lebih luas. Secara keseluruhan, PP 20/2024 dapat memicu harapan akan pertumbuhan berkelanjutan dalam lanskap industri Indonesia.
Sumber: hukumonline.com